Senin, 10 Maret 2008

Tarif Seluler Makin Tidak Terkendali

Bulan April 2008 akan ditabuh genderang perang implementasi penurunan tarif seluler. Bulan ini sudah dimulai dilakukan tes pasar oleh banyak operator seluler di Indonesia. Ini dilakukan untuk menjajaki pasar dan sambil menunggu dilakukannya persiapan-persiapan terhadap perubahan tarif.

Perubahan tarif seluler ini dipengaruhi oleh dua aturan yang dikeluarkan sejak tahun 2006 yaitu PM 08/2006 tentang "interkoneksi" dan PM 12/2006 tentang "tata cara penetapan tarif perubahan jasa teleponi dasar jaringan bergerak selular". Dua aturan tersebut menegaskan adanya penurunan tarif baik dari sisi interkoneksi dan adanya aturan floor prices untuk retail. Cuman apa yang dimaksud floor prices? Dan dimana detail informasi tentang floor prices ini yang saya belum tahu.

Tarif yang ada hingga bulan ini sudah sangat variatif dan relatif sangat murah. Tidak hanya murah sebenarnya tetapi sudah mengarah pada perang harga. Sebagai contoh IM3 mengeluarkan tarifnya hingga Rp 0.1,-/detik, Telkomsel dengan simPati Pede hingga Rp 0.5,-/detik, XL Bebas mengeluarkan tarif hingga Rp 0.0000..1,-/detik, dan lain-lain.

Tarif diatas ada yang diimplementasikan hanya untuk sesama pelanggan dalam satu operator itu ataupun untuk ke operator lain. Tapi kalau dicermati apa ya yang mendasari adanya turun tarif ini? apakah keuntungan perusahaan akan tetap terjaga? apa ini termasuk strategi untuk mendapatkan jumlah pelanggan yang banyak? baru setelah itu akan di mainkan kembali tarif normal. Kalau ini yang terjadi sepertinya berat karena pelanggan yang masuk segmen ini pasti pelanggan yang hanya cari tarif murah. Dan ujung-ujungnya pelanggan tipe ini pasti akan pindah atau mencari yang sesuai dengan yang diinginkan.

Atau apakah operator bersangkutan mempunyai strategi lain? Hingga mereka sangat percaya diri kalau dengan penurunan tarif ini masih akan membawa perusahaannya tetap survive kedepannya. Atau hal tersebut lebih ke arogansi operator saja ya?

Dampak penurunan tarif ini yang jelas diuntungkan ya pelanggan. Pelanggan dapat melakukan berbicara ha ha hi hi sampai puasssss tapi dengan tarif yang sangat murah dan sesuai dengan kantong dari pelbagai kalangan. Bagaimana kalau ditilik ke dalam operator-operator itu sendiri? Apakah mereka masih dapat menerima gempuran transaksi yang meluap yang dilakukan oleh pelanggannya? Apakah perangkatnya mereka pada mendukung ya? Apakah sinyal yang akan diterima atau dinikmati pelanggan akan tetap sama dengan pada saat tarif normal?

Bagaimana dengan operator yang hanya ikut-ikutan menurunkan tarif tetapi tidak didukung dengan perangkat dan dana yang cukup untuk pengembangannya? Akankah operator tersebut akan gulung tikar? Duh apes banget kalau hal itu terjadi?

Operator-operator seluler yang ada di Indonesia sebagian besar sahamnya sudah dimiliki oleh operator asing. Memang benar operator asing mempunyai banyak dana yang bisa dikucurkan ke Indonesia. Dan tentunya merekapun ingin mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan dana awal yang di setor. Dengan makin turunnya tarif dan turunnya pendapatan serta meningkatnya biaya operasional dan pengembangan, apakah operator asing sebagai investor akan tetap bertahan? Sampai kapan kira-kira? Bagaimana kalau operator-operator kecil tidak bisa mengimbangi operator besar dan kemudian tutup. Apakah monopoli akan kembali lagi?

Pangsa pasar di Indonesia untuk jasa telekomunikasi ini memang sangat besar. Bagaikan tambang emas yang berkilauan dan di perebutkan banyak pihak. Tapi jangan sampai tambang itu akan habis dan pudar dan tidak menyisakan apa-apa untuk bangsa Indonesia kemudian hari. Jangan sampai krisis perusahaan jasa telekomunikasi seperti tambang minyak di Kalimantan sebagai daerah minyak malah harus ngantri beli minyak.

Tidak ada komentar: